Hentikan!
Sudah cukup semuanya! Belum puaskah kau menyakitiku? Luka yang kau torehkan
sudah terlalu dalam. Membekas dan takkan pernah bisa hilang. Dulu akuwanita
yang kau cinta, namun sekarang kau perlakukan aku bak “Sampah”! Kau selalu
menghujaniku dengan pukulan membabi buta. Kau lontarkan kata-kata yang tak
pantas kepadaku. Aku muak dengan semua ini! Kau tak pernah menganggapku ada.
Ranjang suci pernikahan kita pun telah kau nodai. Kau selalu membawa wanita
lain ke dalam rumah dan bermesraan dengan mereka. Tak pernah kau pikirkan
bagaimana perasaanku. Siksaan lahir batin kerap aku terima. Kau benar-benar
seorang “PSIKOPAT”! Tak ada lagikah rasa cintamu untukku?
***
Aku
duduk sendiri di ruang keluarga. Setiap hari aku memang selalu seorang diri.
Kau melarangku untuk keluar dan bertemu orang lain, bahkan keluargaku
sekalipun. Komunikasi via telepon pun tidak bisa. Kau membelengguku bak seorang
tahanan. Kau terus mengarang cerita setiap kali ada yang menanyakan kabarku.
Terus bersandiwara di depan semua orang. Padahal kenyataannya kau terus
menyiksaku.
Saat
ku sedang termenung, kudengar suara tawa yang ku yakin itu adalah suamiku.
Karena sepertinya sekarang sudah sangat larut malam.
“Mas,
sudah pulang? Pasti capek ya, Mas?” tanyaku sambil berusaha meraba dimana
keberadaan suamiku. Namun tak kudengar ada jawaban.
Aku
bertanya sekali lagi, “Mas, itu mas kan? Kenapa tidak menjawabku? Mas kecapean
ya?”
Tiba-tiba
kudengar suara bisikan, yang kemudian disambut oleh gelak tawa seorang wanita.
“Sssttt...sudah
biarkan saja Si Buta dan lumpuh ini. Lebih baik kita bersenang-senang saja ya,
Sayang.”
Bruk!
Cekrek! Kudengar mereka masuk ke kamar dan pintu kamarku terkunci. Hatiku
benar-benar bagai terkoyak. Api cemburu pun telah membakar tubuhku. Namun tak
ada yang bisa kulakukan. Hanya bulir air mata yang menjadi saksi bisu kepedihan
hatiku.
***
Pagi
hari ini, aku sengaja menyiapkan sarapan istimewa untuk suamiku. Berharap kami
dapat sarapan bersama dalam satu meja lagi seperti dulu. Merasakan hangatnya
kasih sayang dari suamiku. Karena sudah lebih dari 4 tahun pernikahan kami
menjadi “Dingin”.
“Aku
pergi dulu...” ucap suamiku sambil kemudian pergi meninggalkanku. Benar-benar
sangat berbeda. Tak pernah ada lagi kata mesra dan ciuman hangat di kening
untukku. Tapi aku harus bisa mengajaknya bicara pagi ini juga.
“Mas...tunggu
sebentar. Bisakah kita mengobrol dulu? Ada yang ingin kubicarakan.” aku
berusaha menahannya pergi dengan kursi rodaku.
“Ah...aku
malas! Lagipula aku sudah terlambat. Lain kali saja.” dirinya bersikeras tidak
mau bicara denganku. Aku pun memberanikan diri untuk langsung menegurnya.
“Mas,
sebenarnya apa salahku? Kenapa kau terus menyiksaku seperti ini? Tak bisakah
kita sehangat dulu lagi?”
“Apa
salahmu? Kau mau tahu apa salahmu? Lihat dirimu sekarang! Sudah buta lumpuh
pula. Apa yang bisa kubanggakan darimu? Dan satu hal lagi, kau tidak bisa
memberikanku keturunan sampai sekarang. Kau mandul!” dengan kasarnya suamiku
berbicara seperti itu sambil menunjuk-nunjuk mukaku. Aku hanya bisa terdiam
mencoba bersabar. Namun kembali air mataku tumpah.
“Astagfirullah,
Mas. Tega sekali Mas berbicara seperti itu kepadaku. Masalah keturunan, mungkin
kita harus lebih bersabar lagi dan tawakal kepada Alloh. Apa ini sebabnya kau
selalu bersama dengan wanita lain?”
“Alah...sudahlah!
Minggir kau perempuan cacat tak berguna!” suamiku mendorong tubuhku dengan
sangat keras dan kasar. Hingga, “Arrgghhh...” aku pun terjatuh dari kursi roda.
Tanpa ada perasaan bersalah sama sekali, suamiku malah pergi meninggalkanku.
***
Hari
demi hari berlalu, aku hanya bisa menjalani hidupku dalam belenggu nestapa.
Terus berharap agar semua ini dapat cepat berakhir. Aku hanya tetap berusaha
menjadi istri yang baik untuk suamiku.
Setelah
sekian lama, akhirnya penantianku membuahkan hasil. Dan malam ini, aku ingin
memberikan kejutan untuk suamiku. Menceritakan kabar baik dariku. Namun semua
itu tiba-tiba sirna. Saat suamiku mendadak pulang dengan keadaan emosi tinggi.
BRAK!
Suamiku membuka pintu dengan kasar. “Heh, sini kau perempuan cacat tak
berguna!”
“Aarrgghh...”
suamiku menarik tubuhku dengan kasar. “Astagfirullah, ada apa Mas?”
Suamiku
malah naik pitam dan terus memukuliku dengan membabi buta. Entah apa yang
membuatnya tiba-tiba bertindak seperti itu. Hingga akhirnya aku pun kembali
terjatuh dari kursi roda dan pingsan.
***
Saat
ingin kucoba membuka mata, aku merasakan kepala dan perutku sakit. Tapi ada
tangan yang terus menggenggamku sejak tadi. Dan sepertinya sekarang sedang
tertidur. Ada dimana aku? Siapa orang yang ada di sebelahku? Karena selama ini
aku hanya seorang diri. Saat kuraba ternyata itu adalah suamiku.
“Istriku...kau
sudah sadar?” suamiku terdengar cemas.
Istriku?
Sejak kapan suamiku memanggilku seperti ini lagi? Ada perasaan senang bercampur
sedikit aneh. Ditambah pula ada bau obat di sekelilingku.
“M..Mas...a...ku...di...dimana?”
ucapku sambil terbata-bata.
“Kau
ada di Rumah Sakit sekarang. Sudah...jangan banyak bergerak dan bicara dulu.
Kau harus banyak istirahat.”
“Di
Rumah Sakit? Apa yang terjadi? Aku kenapa, Mas?” suamiku terdiam. “Mas, tolong
katakan.”
Terdengar
suara isak tangis suamiku. “Maaf...Maafkan aku. Aku telah menghancurkan
semuanya. Aku terlalu kasar padamu.”
“Ada
apa sebenarnya? Kenapa Mas bicara seperti itu? Bayi kita? Bagaimana dengan bayi
kita?” aku masih diselimuti rasa penasaran, tetapi suamiku tidak memberikan
jawaban apapun. Sampai akhirnya datang dokter untuk memeriksa keadaanku. Belum
sempat dokter berkata apa-apa, aku sudah memberondongnya dengan pertanyaan.
“Dokter,
tolong katakan apa yang terjadi denganku. Bagaimana kondisi kandunganku?”
Kudengar
dokter tersebut menghela nafas panjang, seakan ingin menyampaikan kabar buruk
untukku. Dan benar.
“Maaf,
Bu. Kami semua sudah melakukan yang terbaik. Namun Alloh berkata lain. Ibu
mengalami pendarahan yang cukup hebat. Sehingga bayi dalam kandungan ibu tidak
bisa diselamatkan. Bahkan rahim ibu terpaksa kami angkat.” kata-kata dokter
benar-benar membuatku terperangah. Suamiku hanya bisa terus menangis. Aku pun
langsung shock karena janin yang selama ini dinanti, kini harus pergi lagi
dariku.
“Sayang,
maafkan aku. Aku menyesal. Sungguh menyesal. Kenapa kau tidak mengatakan
kepadaku kalau kau sedang hamil? Semua ini salahku. Aku memang pria bodoh.”
suamiku terus menyalahkan dirinya sendiri sambil terus memukuli diri.
“Mas
tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Mungkin semua ini sudah kehendak dari
Alloh. Meskipun ada perasaan kecewa dan kehilangan yang hebat, namun aku tidak
pernah menyalahkan Mas. Bahkan jauh sebelum Mas meminta maaf pun, aku sudah
memaafkan Mas.” suamiku memelukku sambil masih terus menangis. “Yang aku
inginkan sekarang, kita bisa membina rumah tangga seperti dulu lagi. Mas tetap
menjadi imamku, membimbingku dan senantiasa mencintaiku dengan setulus hati. Menerima
keadaanku apa adanya.”
***
Sejak
kejadian itu, suamiku kembali berubah menjadi sosok suami yang baik. Pernikahan
kami pun kembali hangat. Sepertinya suamiku telah mendapatkan hidayahnya. Kini,
ia tak lagi membawa wanita lain ke rumah.
Mungkin
selama ini, kami berdua sedang diuji. Dan alhamdulilah, kami berhasil melampaui
semuanya. Kini, aku dapat melihat lagi karena mendapat donor mata. Yang lebih
tak disangka lagi, aku sedang mengandung. Memang kedengarannya cukup mustahil
karena rahimku telah diangkat. Tapi inilah kebesaran-Nya. Tidak ada yang
mustahil bagi-Nya jika memang sudah menghendaki. Sungguh perjuangan dan hasil
dari kesabaran dalam menjalani mahligai rumah tangga kami. Subhanalloh.
0 komentar:
Posting Komentar