Minggu, 31 Maret 2013

Belenggu Psikopat


            Hentikan! Sudah cukup semuanya! Belum puaskah kau menyakitiku? Luka yang kau torehkan sudah terlalu dalam. Membekas dan takkan pernah bisa hilang. Dulu akuwanita yang kau cinta, namun sekarang kau perlakukan aku bak “Sampah”! Kau selalu menghujaniku dengan pukulan membabi buta. Kau lontarkan kata-kata yang tak pantas kepadaku. Aku muak dengan semua ini! Kau tak pernah menganggapku ada. Ranjang suci pernikahan kita pun telah kau nodai. Kau selalu membawa wanita lain ke dalam rumah dan bermesraan dengan mereka. Tak pernah kau pikirkan bagaimana perasaanku. Siksaan lahir batin kerap aku terima. Kau benar-benar seorang “PSIKOPAT”! Tak ada lagikah rasa cintamu untukku?

***

            Aku duduk sendiri di ruang keluarga. Setiap hari aku memang selalu seorang diri. Kau melarangku untuk keluar dan bertemu orang lain, bahkan keluargaku sekalipun. Komunikasi via telepon pun tidak bisa. Kau membelengguku bak seorang tahanan. Kau terus mengarang cerita setiap kali ada yang menanyakan kabarku. Terus bersandiwara di depan semua orang. Padahal kenyataannya kau terus menyiksaku.

            Saat ku sedang termenung, kudengar suara tawa yang ku yakin itu adalah suamiku. Karena sepertinya sekarang sudah sangat larut malam.

            “Mas, sudah pulang? Pasti capek ya, Mas?” tanyaku sambil berusaha meraba dimana keberadaan suamiku. Namun tak kudengar ada jawaban.

            Aku bertanya sekali lagi, “Mas, itu mas kan? Kenapa tidak menjawabku? Mas kecapean ya?”

            Tiba-tiba kudengar suara bisikan, yang kemudian disambut oleh gelak tawa seorang wanita.

            “Sssttt...sudah biarkan saja Si Buta dan lumpuh ini. Lebih baik kita bersenang-senang saja ya, Sayang.”

            Bruk! Cekrek! Kudengar mereka masuk ke kamar dan pintu kamarku terkunci. Hatiku benar-benar bagai terkoyak. Api cemburu pun telah membakar tubuhku. Namun tak ada yang bisa kulakukan. Hanya bulir air mata yang menjadi saksi bisu kepedihan hatiku.

***

            Pagi hari ini, aku sengaja menyiapkan sarapan istimewa untuk suamiku. Berharap kami dapat sarapan bersama dalam satu meja lagi seperti dulu. Merasakan hangatnya kasih sayang dari suamiku. Karena sudah lebih dari 4 tahun pernikahan kami menjadi “Dingin”.

            “Aku pergi dulu...” ucap suamiku sambil kemudian pergi meninggalkanku. Benar-benar sangat berbeda. Tak pernah ada lagi kata mesra dan ciuman hangat di kening untukku. Tapi aku harus bisa mengajaknya bicara pagi ini juga.

            “Mas...tunggu sebentar. Bisakah kita mengobrol dulu? Ada yang ingin kubicarakan.” aku berusaha menahannya pergi dengan kursi rodaku.

            “Ah...aku malas! Lagipula aku sudah terlambat. Lain kali saja.” dirinya bersikeras tidak mau bicara denganku. Aku pun memberanikan diri untuk langsung menegurnya.

            “Mas, sebenarnya apa salahku? Kenapa kau terus menyiksaku seperti ini? Tak bisakah kita sehangat dulu lagi?”

            “Apa salahmu? Kau mau tahu apa salahmu? Lihat dirimu sekarang! Sudah buta lumpuh pula. Apa yang bisa kubanggakan darimu? Dan satu hal lagi, kau tidak bisa memberikanku keturunan sampai sekarang. Kau mandul!” dengan kasarnya suamiku berbicara seperti itu sambil menunjuk-nunjuk mukaku. Aku hanya bisa terdiam mencoba bersabar. Namun kembali air mataku tumpah.

            “Astagfirullah, Mas. Tega sekali Mas berbicara seperti itu kepadaku. Masalah keturunan, mungkin kita harus lebih bersabar lagi dan tawakal kepada Alloh. Apa ini sebabnya kau selalu bersama dengan wanita lain?”

            “Alah...sudahlah! Minggir kau perempuan cacat tak berguna!” suamiku mendorong tubuhku dengan sangat keras dan kasar. Hingga, “Arrgghhh...” aku pun terjatuh dari kursi roda. Tanpa ada perasaan bersalah sama sekali, suamiku malah pergi meninggalkanku.

***

            Hari demi hari berlalu, aku hanya bisa menjalani hidupku dalam belenggu nestapa. Terus berharap agar semua ini dapat cepat berakhir. Aku hanya tetap berusaha menjadi istri yang baik untuk suamiku.

            Setelah sekian lama, akhirnya penantianku membuahkan hasil. Dan malam ini, aku ingin memberikan kejutan untuk suamiku. Menceritakan kabar baik dariku. Namun semua itu tiba-tiba sirna. Saat suamiku mendadak pulang dengan keadaan emosi tinggi.

            BRAK! Suamiku membuka pintu dengan kasar. “Heh, sini kau perempuan cacat tak berguna!”

            “Aarrgghh...” suamiku menarik tubuhku dengan kasar. “Astagfirullah, ada apa Mas?”

            Suamiku malah naik pitam dan terus memukuliku dengan membabi buta. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba bertindak seperti itu. Hingga akhirnya aku pun kembali terjatuh dari kursi roda dan pingsan.

***

            Saat ingin kucoba membuka mata, aku merasakan kepala dan perutku sakit. Tapi ada tangan yang terus menggenggamku sejak tadi. Dan sepertinya sekarang sedang tertidur. Ada dimana aku? Siapa orang yang ada di sebelahku? Karena selama ini aku hanya seorang diri. Saat kuraba ternyata itu adalah suamiku.

            “Istriku...kau sudah sadar?” suamiku terdengar cemas.

            Istriku? Sejak kapan suamiku memanggilku seperti ini lagi? Ada perasaan senang bercampur sedikit aneh. Ditambah pula ada bau obat di sekelilingku.

            “M..Mas...a...ku...di...dimana?” ucapku sambil terbata-bata.

            “Kau ada di Rumah Sakit sekarang. Sudah...jangan banyak bergerak dan bicara dulu. Kau harus banyak istirahat.”

            “Di Rumah Sakit? Apa yang terjadi? Aku kenapa, Mas?” suamiku terdiam. “Mas, tolong katakan.”

            Terdengar suara isak tangis suamiku. “Maaf...Maafkan aku. Aku telah menghancurkan semuanya. Aku terlalu kasar padamu.”

            “Ada apa sebenarnya? Kenapa Mas bicara seperti itu? Bayi kita? Bagaimana dengan bayi kita?” aku masih diselimuti rasa penasaran, tetapi suamiku tidak memberikan jawaban apapun. Sampai akhirnya datang dokter untuk memeriksa keadaanku. Belum sempat dokter berkata apa-apa, aku sudah memberondongnya dengan pertanyaan.

            “Dokter, tolong katakan apa yang terjadi denganku. Bagaimana kondisi kandunganku?”

            Kudengar dokter tersebut menghela nafas panjang, seakan ingin menyampaikan kabar buruk untukku. Dan benar.

            “Maaf, Bu. Kami semua sudah melakukan yang terbaik. Namun Alloh berkata lain. Ibu mengalami pendarahan yang cukup hebat. Sehingga bayi dalam kandungan ibu tidak bisa diselamatkan. Bahkan rahim ibu terpaksa kami angkat.” kata-kata dokter benar-benar membuatku terperangah. Suamiku hanya bisa terus menangis. Aku pun langsung shock karena janin yang selama ini dinanti, kini harus pergi lagi dariku.

            “Sayang, maafkan aku. Aku menyesal. Sungguh menyesal. Kenapa kau tidak mengatakan kepadaku kalau kau sedang hamil? Semua ini salahku. Aku memang pria bodoh.” suamiku terus menyalahkan dirinya sendiri sambil terus memukuli diri.

            “Mas tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Mungkin semua ini sudah kehendak dari Alloh. Meskipun ada perasaan kecewa dan kehilangan yang hebat, namun aku tidak pernah menyalahkan Mas. Bahkan jauh sebelum Mas meminta maaf pun, aku sudah memaafkan Mas.” suamiku memelukku sambil masih terus menangis. “Yang aku inginkan sekarang, kita bisa membina rumah tangga seperti dulu lagi. Mas tetap menjadi imamku, membimbingku dan senantiasa mencintaiku dengan setulus hati. Menerima keadaanku apa adanya.”

***

            Sejak kejadian itu, suamiku kembali berubah menjadi sosok suami yang baik. Pernikahan kami pun kembali hangat. Sepertinya suamiku telah mendapatkan hidayahnya. Kini, ia tak lagi membawa wanita lain ke rumah.

            Mungkin selama ini, kami berdua sedang diuji. Dan alhamdulilah, kami berhasil melampaui semuanya. Kini, aku dapat melihat lagi karena mendapat donor mata. Yang lebih tak disangka lagi, aku sedang mengandung. Memang kedengarannya cukup mustahil karena rahimku telah diangkat. Tapi inilah kebesaran-Nya. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya jika memang sudah menghendaki. Sungguh perjuangan dan hasil dari kesabaran dalam menjalani mahligai rumah tangga kami. Subhanalloh.

0 komentar:

Posting Komentar