Selasa, 30 September 2014

Ulah Nyaliksik Ku Buuk Leutik

Ketika masa kampanye, retorika dari para wakil rakyat begitu manis. Mengumbar sampah sumpah serapah, di tengah perut kota, dan di antara kaum minoritas serta mayoritas. Kebanyakan dari para wakil rakyat ini mengumbar janji palsu, agar masyarakat mau memberikan hak suaranya kepada mereka. Haus akan pemimpin yang mampu memberi perubahan. Penuh harap, masyarakat Indonesia pun mendengarkan dan mempercayai apa yang mereka janjikan. Bahkan tak jarang terkadang untuk membeli suara rakyat, mereka melakukan money politic. Maksudnya adalah memberikan sejumlah uang yang ditukar untuk satu hak suara. Contohnya seperti Bapak Asep (nama tidak sebenarnya) yang demi mendapat suara, rela merogoh kocek cukup dalam untuk membeli suara rakyat. 
Ia memberikan sejumlah uang lauk pauk, kaos bergambarkan dirinya, serta sembako untuk sebagian rakyat kecil yang ada di daerahnya. Ia pikir jika ia bertindak seperti itu, ia akan memperoleh dukungan yang banyak. Biarlah ia keluar kocek yang lumayan dalam, toh nanti juga di kursi parlemen dia bisa "balik modal". Begitu pikirnya. 
"Kelak jika saya menjadi pemimpin, saya akan memberikan fasilitas sekolah dan kesehatan gratis, bla...bla...bla..."
Rakyat kecil yang mempunyai penghasilan tidak menentu, pasti akan senang mendengar hal itu. Ditambah lagi mereka mendapatkan sejumlah uang lauk pauk, kaos, dan juga sembako untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang pas-pasan.
Hari-hari selama masa kampanye, dirinya terus melakukan pendekatan kepada masyarakat. Berharap agar mereka "cukup bodoh" untuk bisa ditipu oleh janji manisnya. Beliau melakukan penyuluhan ke berbagai sekolah, layanan masyarakat seperti PUSKESMAS, dll. Bercengkrama dengan rakyat kecil, mengunjungi pasien rawat inap yang tidak mampu, seolah seperti benar-benar merakyat. Bertujuan untuk menarik simpati masyarakat kebanyakan. Hanya demi sebuah pencitraan sesaat semata. Beliau pun berhasil. Semua orang menjadi bersimpati terhadapnya. Kini beliau sudah mengantongi kepercayaan hampir seluruh rakyat di daerahnya. Membuatnya menjadi semakin percaya diri. Prospek cerah jika mendapat kursi parlemen membuatnya silau. Beliau silau melihat teman-temannya yang telah duluan menjadi anggota parlemen, bisa bergelimang harta. Punya sederet mobil mewah, investasi rumah dan tanah dimana-mana, serta masih banyak lagi. Segala cara ditempuh demi menang. Maka tak heran, kebanyakan calon anggota parlemen yang gagal, mendadak jadi stres bahkan gila. Karena sudah mengeluarkan banyak modal, hasil nihil. Akhirnya pemilihan pun selesai dilaksanakan, cukup dengan satu putaran hasil sudah bisa di dapat. Bapak Asep pun memenangkan Pemilu tersebut dan berhasil mendapatkan "kursi berputar" di parlemen. Namun seiring berjalannya waktu, setelah 3 bulan beliau menduduki kursi tersebut, tidak ada satu pun janji manisnya yang direalisasikan. Rakyat yang sudah memberikan hak suaranya hanya bisa menunggu dengan kekecewaan. Jari telunjuknya bukan lagi menjadi tanda janji, melainkan pengawal ucapannya bahwa wakil rakyat di parlemen ialah pemilik kekuasaan legislasi. Boro-boro merealisasikan janjinya, mendengarkan aspirasi rakyat saja beliau tidak pernah. Malah beliau menggertak aspirasi rakyat yang ingin menegakkan demokrasi. Ulah nyaliksik ku buuk leutik, kalau kata orang Sunda. Yang artinya jangan memperalat yang lemah atau rakyat jelata. Hanya demi mendapatkan kursi guna memperoleh keuntungan sendiri, dengan menjadi tikus rakyat yang menggerogoti keuangan negara. Yang dibutuhkan rakyat hanyalah pemimpin yang mampu dipercaya, bukan yang sekadar mengumbar janji. Memanusiakan manusia lebih akan bisa membeli hati serta suara rakyat, ketimbang melakukan money politic. Semoga kelak rakyat Indonesia bisa mendapatkan apa yang mereka harapkan.

Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati


0 komentar:

Posting Komentar